Selingan untuk Anda

Saturday 27 September 2014

Sudut Kelam

di Sudut Kelam

Karya : Gorila

Di sudut taman yang sepi aku duduk terpekuk, dalam balutan jaket kulit tua, teman setia menahan dingin malam.

Hiruk pikuk kendaraan berlalu lalang dan hingar bingar para makhluk hedonis di akhir pekan ini, tidak sedikitpun bisa menutupi kegelisahan yang kurasakan.


Kegelisahan dari bencana yang berturut-turut menimpaku.
Kecelakaan yang merenggut nyawa istriku, dan membuat buah hatiku kini terbaring koma.
Tidak lama dari peristiwa itu, bajingan yang dulu sudah aku anggap seperti saudara sendiri, kabur entah kemana membawa lari uang perusahaan bernilai miliaran rupiah.
Terpaksa, dengan sangat terpaksa aku meminjam uang dari 'pria itu' untuk membiayai perawatan buah hatiku di rumah sakit. Seorang kenalan yang dulu pernah bekerja sama dalam sebuah proyek pemerintahan.
Aku bilang terpaksa bukan karena aku malu meminjam uang untuk kesembuhan anakku. Tetapi dia bukan hanya pengusaha, tapi juga rentenir yang menjalankan roda perputaran bisnis kotor di kota ini.
Mulai dari judi, klub malam, pengedaran narkotik, penyelundupan, hingga penjualan manusia, orang itu yang mengaturnya.
Sangat mudah mendapatkan pinjaman darinya. Cukup menyebutkan angka nominal yang diinginkan, maka uang akan segera cair.
Tetapi juga beserta bunga yang tidak masuk akal.
Tak apa pikirku.
Demi malaikat kecilku yang bertahan hidup disana.
Dan seperti kasus pinjaman rentenir pada umumnya, jumlah yang harus dikembalikan semakin membengkak.
Hingga disatu titik, akhirnya kesabaran pria itu habis karena uang beserta bunga yang ia pinjamkan tidak kunjung ada penggantinya.
Malam itu, saat aku sedang coba mengais rezeki dari menipu belas kasihan orang lain, sebuah pekerjaan yang dulu aku anggap nista dan mengganggu pemandangan, beberapa orang berbadan besar datang menyeret dan membawaku ke hadapan dia.
Dia menawariku dua pilihan untuk melunasi hutangku.
Pilihan berat yang salah satunya dengan jalan menjual anakku sendiri, peri kecilku, menjual organ tubuhnya yang masih berfungsi.
Jelas aku menolaknya.
Dan saat dia mengatakan pilihan kedua, saat itu aku sadar, kalau aku sudah membuat perjanjian dengan iblis berbentuk manusia.
"Masa mau 'main' di sini sih om, di hotel aja mendingan om," ucap seorang pria 'tomboy' dengan make up tebal dan dada tambahan yang mengeluarkan suara "kecipak" saat dia berjalan.
"Jangan di hotel. Bisa celaka kalau sampai ketahuan wartawan. Kasus om yang sedang diusut KePiK bisa tambah ramai di blow up nantinya. Kamu pokoknya ikutin om aja, nanti om bayar 5 kali lipat, kalau kamu mau menuruti keinginan om," ujar pria tua gendut berperut buncit, mengenakan setelan dipaksakan untuk menutupi identitasnya. Berjalan sambil digandeng mesra wanita jadi-jadian di sebelahnya.
Tanganku menyelinap masuk ke balik jaket.
Dingin, terasa sangat dingin saat telapak tanganku menggenggam erat gagang plastik dari benda yang sedari awal sudah aku sembunyikan.
Semakin dekat pasangan aberasi itu berjalan menghampiri tempatku berada, semakin cepat jantungku berdetak.
Sedetik kemudian.
Aku melompat keluar dari balik kegelapan, menerjang pasangan itu.
Belatiku tepat menembus perut buncit pria itu.
"Ooomm!!! Jangan mati Om!!" jerit waria itu, histeris.
Aku berlari sekencang-kencangnya menembus malam tanpa arah tujuan, kabur dari tempat kejadian.

"Hutangku terlunasi," gumamku. Tanpa dosa.

BdL, 09-08-14

No comments:

Post a Comment

Harap Berikan Komennya Walau Hanya Satu Kata