Selingan untuk Anda

Saturday, 29 August 2015

Elemental Wizard I ~ The Slave (1)


Oleh : Gorila

Terik mentari tanpa mega menaungi, membakar ganas tanah tandus berpasir dari gurun tanpa nama, yang dilewati oleh rombongan pembawa budak.

Tertatih para budak berjalan dengan tangan dan kaki yang dirantai, saling sambung menyambung berderet ke belakang. Tanpa baju yang melindungi dari sengatan matahari, hanya sehelai tipis celana kumal dengan koyakan dibanyak tempat.

Sesekali cambuk terayun kasar dari pengawal yang mengiringi di kedua sisi, memecut budak agar bergegas, atau sekedar mencari kesenangan dari rintih para pesakitan.


Tangan berotot dari pria kekar yang menaiki kuda di muka barisan teracung melewati kepala, memberikan tanda agar rombongan menghentikan langkah. Seorang pengawal yang sejak awal perjalanan berada di ujung barisan para budak, berlari kecil menghampiri sang pimpinan.

"Reyez, perintahkan agar rombongan bergerak lebih cepat! Mulai dari sini kita harus lebih waspada karena telah memasuki kawasan Targan, kelompok bandit gurun paling disegani di wilayah ini," Perintah pemimpin rombongan bernama Karpas.

Reyez mengangguk lalu berbalik dan memberikan tanda dengan beberapa kali ayunan tangannya agar rombongan berjalan lebih cepat.

Arak-arakan itu kembali berjalan sesuai perintah dari Karpas. Bergerak cepat bagai berusaha membelah gurun dengan langkah kaki diseret, diiringi orkestra kesakitan dari para budak yang terus didera cambuk, bagai bagal pemalas tak berotak.

Pelindung tubuh berbahan logam yang dikenakan seorang pengawal berderak saat tangannya terayun memecut budak di barisan paling belakang. Pesakitan itu jatuh terjerembab dengan hanya menyisakan segaris tenaga dan tatapan memelas.

Diayunkan lagi cambuk itu sekuat tenaga, memecut keras tubuh kering si budak berkali-kali. Meninggalkan guratan merah di sekujur badan, koyakan kulit tipis bermandikan darah.

"Berhenti! Berhenti kataku!" Reyez menahan tangan rekannya tersebut, sebelum sempat terayun kembali.

Keduanya bersitatap garang, bagai sepasang hewan buas yang hendak memperebutkan mangsa.

"Mereka hanya budak! Tak lebih tinggi derajatnya dari bagal penarik bajak!" Terengah-engah pengawal itu berkata.

"Mungkin. Tapi di sini! Saat ini! Nyawa mereka lebih berharga daripada hidupmu!" Gigi si pengawal bergemeretuk menahan emosi, mendengar ucapan Reyez. "Tugas kita membawa mereka dalam keadaan hidup sampai ke tangan pembeli. Bukan memberi makan burung bangkai penghuni daerah ini!"

Ditepis genggaman tangan Reyez, lalu bersiap menarik pedang yang tersarung menggantung di pinggangnya, setelah membuang cambuk ke sembarang arah.

"Kalau kau begitu cintanya kepada para budak ini, bagaimana jika aku jadikan pula kau sebagai santapan burung bangkai bersama dirinya!?"

Kilatan perak yang diterpa cahaya terik mentari meluncur lurus melewati Reyez, menggoreskan luka dangkal di kaki si pengawal, dan berakhir menancap dalam di tanah berpasir.

"Atau kau sendiri yang akan aku jadikan bangkai, sebagai santapan para penghuni gurun!?" Suara berwibawa Karpas terdengar menggema, menyatu dengan deru ganas angin padang pasir. Terlihat gagah bagai dewa perang dengan busur dalam genggaman.

Saat si pengawal melangkah mundur untuk mengambil kembali cambuknya, Reyez berjongkok sambil membuka penutup botol yang dia miliki.

"Bangunlah! Minum ini," kata Reyez, sambil mengangkat tubuh ringkih si budak. Memberikannya minum beberapa teguk, sebelum membantunya untuk kembali berdiri.

Budak itu perlahan bangkit dan melemparkan senyum memelas sambil berterima kasih atas bantuan yang diberikan Reyez. Dia pun mengangguk saat wakil ketua rombongan tersebut menanyakan apakah dirinya masih kuat untuk berjalan.

"Aku hargai tindakanmu, tetapi kau seharusnya bisa lebih lembut terhadap rekan, dan jangan terlalu memberikan perhatian kepada budak, walau mereka adalah barang bawaan kita," ucap Karpas. Mendekati Reyez sambil menyampirkan kembali busur ke badannya.

Reyez tersenyum kecut, lalu berjalan menyamai derap langkah kaki kuda yang ditunggangi Karpas. Baru beberapa depa kaki kokoh itu terayun, sekejap tatapan awas yang dipenuhi tekanan terasa kuat menusuknya dari belakang. Meremangkan bulu kuduk dan menggebrak keras insting petarungnya.

Dia menoleh dengan sikap badan yang siap untuk meluncurkan serangan. Matanya terpicing menyusuri setiap jengkal gurun tandus. Tidak ada siapapun selain mereka yang ada di sana, bukan si pengawal tadi yang masih bersungut-sungut menumpahkan kekesalannya, bukan pula para budak yang sepanjang penglihatannya terus menunduk, menghindari terpaan sinar mentari.

Di saat pertanyaan tentang siapa yang melemparkan tatapan tersebut masih menggelayuti batinnya, Karpas telah memberi perintah untuk kembali bergerak. Mau tidak mau Reyez menurutinya lalu setengah berlari untuk kembali mengisi formasi di bagian depan, sambil menggenggam erat tangannya yang gemetaran dan dibasahi oleh keringat dingin dari gejolak emosi yang didominasi oleh rasa takut.

[Bersambung]

JKT, 19/08/15

No comments:

Post a Comment

Harap Berikan Komennya Walau Hanya Satu Kata