Selingan untuk Anda

Thursday 10 September 2015

Ekonomi Islam Yang Simple Dan Tak Diacuhkan (1)

Oleh : Gorila

Warning!!!
Artikel ini hanyalah pendapat saya yang belum mempunyai ilmu mumpuni di bidang Ekonomi maupun Hukum Islam. Karena tujuan dibuatnya artikel ini selain untuk berbagi pemikiran, semata-mata hanya untuk menumpahkan ide liar yang sedari kemarin terus bermain dan menari-nari di dalam kepala saya.

Lets we talk ....


Terlalu panjang jika memulai sebuah tulisan dengan menjabarkan arti dan sejarah dari Ekonomi dan Hukum Islam. Kalaupun saya lakukan, akan banyak pembaca yang langsung skip ke paragraf berikutnya.

Walaupun sebenarnya saya sendiri malas untuk menjabarkan kedua hal tersebut. :v

Lagian ada Mbah Google juga kalau kalian mau mencari tahu penjabarannya.

Kebanyakan ilmu ekonomi dengan berbagai cabangnya, hanya membahas persoalan abstrak yang hasil akhirnya adalah (hanya) sebuah ide, ideologi, dan falsafah. Tanpa bisa menyelesaikan secara menyeluruh sebuah persoalan ekonomi di lapangan, yang di sini akan saya bahas dalam lingkup negara.

Negara sendiri adalah sebuah perusahaan besar, di mana para pekerjanya adalah rakyat/warga negara itu sendiri. Sialnya, banyak orang yang tidak menyadari akan hal tersebut.

Sebagai sebuah perusahaan, tentunya membutuhkan pergerakan untuk menghasilkan laba demi terciptanya ketahanan agar tidak mengalami kebangkrutan. Dari situlah negara yang dipimpin oleh seorang kepala negara, diharuskan memutar roda perekonomiannya.

Untuk memutar roda perekonomian tersebut, tentunya negara tidak hanya bisa mengandalkan BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Dibutuhkan daya usaha dari segenap elemen yang ada di negara tersebut, yang dalam hal ini adalah rakyat itu sendiri.

Seperti yang kita ketahui, strata ekonomi sebuah negara di belahan bumi manapun pasti mengerucut ke atas dan membentuk sebuah piramid. Dengan masyarakat kelas bawah berekonomi rendah (yang termarjinalkan) menempati urutan terbawah sebagai pijakan, dan kaum elit berpenghasilan besar (jutawan, miliyuner, hartawan) sebagai pucuk strata ekonomi. Sementara pemerintah adalah sebuah lingkaran yang melingkupi piramid tersebut.

Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, masyarakat kelas bawah berekonomi rendah yang termarjinalkan, berperan sebagai pijakan dari sebuah strata ekonomi. Sering terlupakan dan diacuhkan, secara sadar maupun tidak sadar.

Sebuah kebodohan dari para sarjana ekonomi yang kebanyakan memandang unsur vital dari pergerakan sebuah ekonomi negara terdapat pada strata ekonomi menengah ke atas.

Kenapa saya bilang sebagai sebuah kebodohan?

Memang, roda ekonomi bisa bergerak cepat jika difokuskan pada strata tersebut. Tetapi disadari atau tidak, sebenarnya pergerakan itu adalah pergerakan rentan yang jika dihantam akan membawa pengaruh besar bagi perekonomian sebuah negara.

Jika strata ekonomi yang berada di bagian menengah ke atas itu dihantam dan koleps, maka terciptalah sebuah efek domino yang secara pasti ikut menghancurkan tatanan ekonomi di bawahnya. Ya, tatanan ekonomi para kaum marjinal.

Apa efeknya jika hal itu terjadi?

Keos besar di negara tersebut. Seperti yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998. Saya bisa mengatakan akan terjadi keos besar karena seperti yang kita ketahui bersama, strata terbawahlah yang memiliki jumlah paling besar, juga yang paling terpengaruh atas kolepsnya sebuah strata di atasnya.

Jika sudah seperti itu maka yang ikut terkena imbas adalah perekonomian dan stabilitas sebuah negara. Pemerintah yang berperan sebagai pelingkup dari piramid tersebut tentunya harus bergerak untuk membangun kembali roda perekonomian. Bukan hanya dibagian menengah ke atas, tapi seluruh elemen yang menjadi penyokong elemen tersebut.

Mungkin apa yang saya jabarkan di atas terdengar (sebenarnya sih terbaca) sebagai sebuah omong kosong belaka. Tapi bagaimana kalau kita buktikan hal itu dengan teori nyata?

Apa persamaan Indonesia di waktu pemerintahan Soeharto dengan pemerintahan Jokowi saat ini (2015)? Ya, pergerakan mata uang rupiah yang semakin merosot.

Tapi ada juga perbedaan besar di antara keduanya.

Pada pemerintahan Soeharto terjadi keos besar yang memakan banyak korban jiwa. Sementara di era Jokowi saat ini, kondisi masyarakat bisa terbilang tenang tanpa kerusuhan yang berarti (termasuk demo dan kicauan para nitizen di media sosial).

Hal itu terjadi karena pada zaman Soeharto, lini ekonomi menengah ke atas mengalami koleps, sementara di era Jokowi saat ini, lini tersebut masih bertahan dan dapat menghadapi perubahan ekonomi yang bergerak (menukik) turun.

Ok, cukup dengan analisanya.

Sekarang pertanyaannya, apa hubungan penjabaran di atas dengan sistem ekonomi islam?

Seperti yang sudah saya katakan di atas, strata ekonomi bawah menjadi pijakan dan dasar dari sebuah strata ekonomi dengan jumlah yang bisa dibilang masive. Dan disinilah sistem ekonomi Islam berperan.

Bukan dengan embel-embel syariah yang seperti dewasa ini banyak digembar-gemborkan. Seperti bank syariah misalnya.

Ayolah, bank syariah dianggap sebagai sebuah bagian dari sistem ekonomi Islam? Ingat! Islam tidak membenarkan yang namanya riba. Apapun namanya, apapun sebutannya.

Jika bank syariah sudah dianggap sebagai bagian dari sistem ekonomi islam, maka saya juga bisa menyebut sebuah diskotik syariah sebagai sebuah sistem Islam.

Tentu tidak kan .....

Sejujurnya, saya menganggap, dunia perbankan yang ada di dunia sekarang sebagai sebuah penghalang kemajuan ekonomi sebuah negara. Dikarenakan lingkup pergerakan dan kekuasaannya yang tidak dibatasi. (Hal ini tidak akan saya bahas di sini. Karena selain bukan fokus yang akan dibicarakan, saya juga belum mendapat kalimat yang tepat untuk menjabarkannya :'v)

Lalu bagaimana ekonomi Islam mengatasi persoalan di atas? Atau tepatnya, sistem Islam seperti apa yang dapat mengatasi masalah tersebut?

Infak, Zakat, dan Sedekah. Yap, itulah sistem ekonomi Islam yang dapat mengatasi masalah kompleks perekonomian tersebut. Simple kan... :v


Next we talk about Infak, Zakat, and Sedekah who can solve economic problem.

No comments:

Post a Comment

Harap Berikan Komennya Walau Hanya Satu Kata