Selingan untuk Anda

Monday 7 September 2015

Romansa Malam

Oleh : Gorila

"Negara ini butuh lebih dari sekedar revolusi," kata Anton, setelah mengatur napasnya yang tersengal-sengal.

"Apa yang melebihi revolusi untuk mencapai perubahan?" tanya pria berkepala pelontos bernama Dirga. Menyandarkan tubuhnya di tiang besi lampu taman, tidak jauh dari bangku tempat temannya berada.


"Chaos! Kekacauan masif yang memecah belah bangsa ini. Sebelum diikat kembali dalam kesatuan yang lebih erat." Senyum terkembang berhias binar mata diterpa cahaya bulan purnama, menghiasi wajah Anton.

Dirga menahan tawa yang hendak keluar hingga tubuhnya membungkuk. "Massive chaos, maksudmu!? Gila! Kau gila, Ton. Kita bisa apa, hah!? Menghadapi dua ekor anjing berseragam tadi saja, nyali kita sudah ciut dan akhirnya hanya bisa berlari tunggang langgang bagai orang kesetanan."

Tawa Dirga perlahan mereda, lalu diam tanpa suara. Alisnya bertaut memandang Anton yang tidak lepas mengukir senyum.

"Aku serius, Dir. Semua rencana sudah tersusun rapi di otakku." Tangan Anton memilin kuat tepian kursi kayu yang dia duduki, seakan hendak mematahkannya.

"Ok, aku percaya kalau otak cerdasmu telah memikirkan tiap detail massive chaos, atau apalah kau menyebutnya. Tet ...." Ucapan Dirga mengambang, terhenti oleh tawa Anton.

"Uang, modal, dana? Itu kan yang kau ingin tanyakan?" Pria berambut gondrong tersebut menatap lurus mata temannya. "Aku bukan pandir yang hanya bisa berkoar-koar seperti mereka yang ada di kursi pemerintahan. Burung elang mau memberikan bantuan berapapun untuk menjalankan rencaku."

Dirga terperangah saat mendengar perkataan Anton. Napasnya tercekat disumbat emosi yang menggelegak.

"Kau gila! Kita berjuang untuk rakyat! Untuk mengusir penjajah mental! Tetapi kenapa kau malah bekerjasama dengan pihak asing!?" kata Dirga dengan wajah memerah.

"Hahaha ... sudah kubilang tadi, semua rencana sudah tersusun rapih di otakku. Termasuk rencanaku menghempaskan mereka dari tanah air kita." Anton tersenyum sinis.

Dirga menghirup dalam udara malam, lalu melepaskannya dalam satu hembusan. Ditatapnya bulan yang semakin tinggi di atas langit, sebelum berjalan sampai di belakang temannya.

"Satu yang tidak aku suka dari dirimu. Sifat pongah yang seringkali membutakan langkahmu."

Ditariknya resleting jaket parasut yang dia kenakan hingga menutup penuh, lalu menempatkan kedua tangannya di belakang badan.

"Kepongahan yang membutakan hanya terjadi kepada orang-orang bodoh. Untuk aku, tidak mungkin akan terjadi." Anton mendongak menatap bulan, meresapi cahaya pucatnya. Tidak sadar dibelakangnya, Dirga tengah menggerakan tangan mengarah tepat ke batok kepalanya.

"Kau pernah dengar pepatah yang mengatakan kalau sebodoh bodohnya orang adalah yang menganggap dirinya paling pintar?" Halus tanya Dirga, disusul sebuah salakan senjata api. Membawa sebutir timah panas yang menembus dan bersarang di batok kepala Anton.

Anyir darah tidak ayal menciprat muka Dirga. Tersapu dan bercampur lelehan air mata yang menuruni tirus pipinya. Diam mematung dalam denting detik hingga tubuh kaku teman lamanya jatuh bersimbah merah di atas reotnya bangku taman.

"Maaf ... ini perintah," parau Dirga berkata. Beranjak pergi tanpa membasuh marka dosa disekujur badannya.

JKT, 13/05/15

No comments:

Post a Comment

Harap Berikan Komennya Walau Hanya Satu Kata